Sejarah Paleontologi di Indonesia Periode Naturalis Awal

Sejarah Paleontologi di Indonesia Periode Naturalis Awal
Sejarah Paleontologi di Indonesia Periode Naturalis Awal

Penyelidikkan paleontologi di Indonesian pada masa awal keberadaan Belanda yakni abad ke-17 dan 18, masih sangat terbatas. Kondisi alam pedalaman yang banyak ditutupi oleh hutan tropis menjadi sandungan tersendiri untuk melakukan eksplorasi, diimbuh lagi pada waktu itu belum terdapat ahli khusus dalam bidang geologi yang notabene merupakan disiplin baru. Informasi mengenai sejarah alam, batuan, fosil, logam dan mineralogi diperoleh dari para naturalis awal, di mana mereka mencampurkan sejumlah domain sains, tidak hanya menginformasikan aspek geologi saja, melainkan juga vegetasi tumbuhan dan hewan.

Georg Eberhard Rumpf atau lebih dikenal sebagai Rumphius (1627-1702) “si buta yang melihat dari Ambon” merupakan seorang naturalis terkemuka dan pegawai di maskapai dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), Rumphius orang Eropa pertama yang memelopori pekerjaan geologis dan penyelidikan fosil di Nusantara, Kendati demikian, interpretasi geologinya masih kurang memadai, sebab, geologi baru berkembang sebagai sebuah disiplin sekitar setengah abad setelah kematian Rumphius.

Gambar 1. Potrait G.E Rumphius pada usia 68 tahun digambar oleh putranya Paulus.Sumber: https://www.biodiversitylibrary.org/page/43626924#page/12/mode/1up
Gambar 1. Potrait G.E Rumphius pada usia 68 tahun digambar oleh putranya Paulus.
Sumber: https://www.biodiversitylibrary.org/page/43626924#page/12/mode/1up

 

Rumphius memulai petualangan ilmiah di Nusantara pada paruh kedua abad ke-17 dan menghabiskan sebagian besar sisa hidupnya di Ambon hingga wafat pada tahun 1702. Selama bertahun-tahun Rumphius telaten dalam mengoleksi berbagai temuan yang menarik untuk ilmu kebumian dan sejarah alam, meski, di sisi lain, banyak kemalangan yang menerpa, seperti, kehilangan koleksi dan naskah penelitian akibat kebakaran kota Ambon, kemudian, kapal yang mengirim naskahnya ke Belanda karam di tengah perjalanan, selain itu, bencana gempa bumi menewaskan istri dan salah satu anak perempuannya serta kebutaan yang kemudian ia derita. Akibatnya, Rumphius tidak dapat membuat lagi sketsa koleksi-koleksi dalam penyelidikannya. Untungnya, VOC memberikan bantuan dengan mengirimkan juru tulis dan gambar yang memudahkan Rumphius dalam menuntaskan lagi naskah-naskah nya, walakin semua yang dikerjakan Rumphius baru terbit bertahun-tahun setelah kematiannya.

Gambar 2. D'Amboinsche Rariteitkamer (1705).Sumber: https://www.biodiversitylibrary.org/page/43626924#page/12/mode/1up
Gambar 2. D’Amboinsche Rariteitkamer (1705).
Sumber: https://www.biodiversitylibrary.org/page/43626924#page/12/mode/1up

D’Amboinsche Rariteitkamer (1705) berkaitan dengan botani, mineralogi, dan geologi. Rumphius disebut-sebut sebagai penemu endapan mesozoikum di Nusantara oleh karenanya pengamatan terhadap fosil terhitung akurat, berdasarkan indikasi Rumphius fosil fauna laut berumur mesozoikum dapat ditemukan di Maluku. Deskripsinya tentang “steenen vingers” batu yang memiliki bentuk menyerupai jari dari Pulau Sula, memicu kecurigaan C. E. A. Wichmann yang akhirnya menemukan fosil Belemnite (cumi-cumi purba) dari endapan mesozoikum di daerah bagian Maluku (1888-1889). Sampai saat ini, penyelidikan paleontologi di daerah Indonesia bagian timur masih berkesinambungan. Deskripsi Rumphius dalam D’Amboinsche Rariteitkamer (1705) dilengkapi dengan sketsa-sketsa fosil yang indah, digambar oleh Maria Sybilla Merian.

Gambar 3. Sketsa fosil fauna laut Ambon dalam D'Amboinsche Rariteitkamer (1705)Sumber: https://www.biodiversitylibrary.org/page/41005828#page/11/mode/1up
Gambar 3. Sketsa fosil fauna laut Ambon dalam D’Amboinsche Rariteitkamer (1705)
Sumber: https://www.biodiversitylibrary.org/page/41005828#page/11/mode/1up
Gambar 4. Instalasi Rumphius dan meja kerjanya dalam pameran ‘Oostwaarts! Kunst, cultuur en kolonialisme’ - KIT Tropenmuseum. Sumber Foto: Elekes Andor, 2019 (cc) https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Tropenmuseum_(18).jpg#filehistory
Gambar 4. Instalasi Rumphius dan meja kerjanya dalam pameran ‘Oostwaarts! Kunst, cultuur en kolonialisme’ – KIT Tropenmuseum. Sumber Foto: Elekes Andor, 2019 (cc) https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Tropenmuseum_(18).jpg#filehistory

Satu abad selepas kematian Rumphius, penyelidikan ilmiah di Nusantara semakin merana, ilmu geologi dan paleontologi tidak menunjukkan perkembangan sekali pun, di masa ini, pekerjaan ilmiah melulu bergantung pada individu. Sikap kompeni yang lebih mementingkan perdaganan dan perang, ditambah kekacauan administrasi adalah sebab lainnya, dan tidak menguntungkan terhadap penelitian. Baru di abad ke-19, setelah pemerintahan Inggris (1811-1816) perkembangan paleontologi dapat dibicarakan lagi.

Pemerintah Hindia Belanda membentuk Komisi Pengetahuan Alam atau Natuurkundige Commisie,  menghidupkan kembali semangat penyelidikan sejarah alam, seorang anggotanya yang produktif dan multibakat, yakni Junghuhn, melakukan  penyelidikan di Jawa dan menuliskan kondisi alam Jawa secara komprehensif berdasarkan penyeldikan yang ia lakukan pada 1845-1848, dalam bukunya “Java :deszelfs gedaante, bekleeding en inwendige structuur” yang terdiri dari 4 volume Junghuhn menyertakan laporannya mengenai fosil di sejumlah daerah di Jawa yang ia bagi kedalam lokasi A-Z. Fosil yang didapat Junghuhn meliputi  beberapa spesies dari filum arthropoda dan moluska (yang kemudian diketahui berumur neogen) dan satu jenis fosil vertebrata, gigi hiu megalodon (O. megalodon) di perbatasan Djampang-Tjidamar, Sejumlah fosil yang dihimpun Junghuhn saat ini menjadi koleksi Museum Geologi, namun pada periode pertamanya Junghuhn belum menemukan fosil vertebrata terrestrial.

F.W. Junghuhn (1806-1864)
F.W. Junghuhn (1806-1864)
Fosil moluska Junghuhn yang menjadi koleksi Museum Geologi
Fosil moluska Junghuhn yang menjadi koleksi Museum Geologi

Ekskavasi Vertebrata Pertama

Memasuki periode ke-2 di pulau Jawa, Junghuhn tidak seaktif masa pertamanya, sebab kondisi kesehatan yang memburuk, dan ia hanya ditugaskan untuk mengembangkan penanaman pohon kina di Priangan. Akan tetapi, Junghuhn masih memiliki ketertarikan terhadap alam Jawa. Pada 1857 Junghuhn mendapatkan laporan mengenai balung buto atau tulang-tulang raksasa yang berserakan dari daerah Pati Ayam. Junghuhn lalu memeriksa dan melakukan penggalian pada situs tersebut dan menjuluki nya sebagai Slagvelden van Reuzen yang berarti tempat bertarung para raksasa atas ketakjubannya pada fosil fauna terrestrial yang melimpah di Pati Ayam.

Junghuhn mendeskripsikan dengan tepat fosil-fosil yang ia temukan kedalam tiga spesies, yakni ElephasStegodon (ia tulis dengan nama lama Mastodon elephantoides) dan Bos. Junghuhn menyerahkan temuannya kepada Perhimpunan Ilmu Alam Kerajaan atau Koninklijk Natuutkundige Vereenging. Temuan fosil vertebrata oleh Junghuhn yang juga dipublikasikan oleh Perhimpunan Ilmu Alam Kerajaan menjadi kunci penting sebagai titik awal penelitian dan ekskavasi fosil vertebrata atau mamalia besar di Indonesia, khususnya Jawa. Setelahnya, penyelidikan dilakukan oleh Baron Anton Sloet van Oldruitenborgh di pegunungan kendang tahun 1859 dan P.E.C Schemulling di Sangiran tahun 1864, hingga Raden Saleh pada tahun 1865-1867, fosil-fosil temuan ini kemudian dideskripsikan oleh Karl Martin.

Fragmen fosil yang dihimpun dalam ekskavasi Junghuhn
Fragmen fosil yang dihimpun dalam ekskavasi Junghuhn

Bumi Putra Pionir Paleontologi Indonesia

Raden Saleh (1811 - 1880)
Raden Saleh (1811 – 1880)

Raden Saleh terkenal sebagai seorang maestro gambar dan lukis yang beraliran naturalisme dan romantisisme, terlahir dari keluarga bangsawan Arab-Jawa di Semarang, Jawa Tengah. Raden Saleh juga memelopori ekskavasi paleontologi yang berasal dari bumi putra. Di antara tahun 1865-1867 Raden Saleh menjadi seorang naturalis amatir dan melakukan beberapa ekskavasi di daerah  Pati Ayam, Kedungbrubus, Solo hingga Sentolo, Jogjakarta. Berdasarkan laporannya kepada Koninklijk Natuutkundige Vereenging (Over fossiele beenderen van den PandanNat. Tijdschr1867)  Raden Saleh menemukan graham (molar), gading Stegodon di sekitar Gunung Pandan-Kedungbrubus, Madiun. Fosil-fosil Stegodon tersebut dideskripsikan oleh Karl Martin 1887 sebagai Stegodon trigonocephalus (Martin 1887). Pada 1930’an Geologisch Museum merekonstruksi skeleton Stegodon trigonocephalus dan menjadi skeleton pertama di dunia pada genusnya (Stegodon) yang berhasil diperagakan.

Skeleton Stegodon trigonocephalus di Geologisch Museum tahun 1930 (foto: Tan Sin Hok)
Skeleton Stegodon trigonocephalus di Geologisch Museum tahun 1930 (foto: Tan Sin Hok)

Pengumpulan fosil yang dilakukan para naturalis awal ini sangat berpengaruh bagi paleontologi dan peneliti setelahnya, seperti informasi temuan fosil vertebrata oleh Junghuhn dan Raden Saleh yang membuat Eugène Dubois (ahli paleontologi) memindahkan ekskavasi di gua-gua Sumatra ke daerah Jawa pada 1890. Setahun kemudian membuahkan hasil dengan ditemukan fosil manusia Jawa (Java Man) Pithecanthropus erectus (saat ini Homo erectus) yang dianggap sebagai mata rantai yang hilang (the missing link) dalam teori evolusi manusia, hal ini memperkenalkan Indonesia pada kawah ilmu pengetahuan dunia dan semakin diminati oleh para ahli paleontologi.

tulisan saya ini telah dipublikasi oleh Museum Geologi pada 9 Mei 2023  https://museum.geologi.esdm.go.id/artikel/sejarah-paleontologi-di-indonesia-periode-naturalis-awal